Terdapat beberapa keterangan tentang
asal usul Sisingaan ini, di antaranya bahwa Sisingaan memiliki hubungan dengan
bentuk perlawanan rakyat terhadap penjajah lewat binatang Singa kembar (Singa
kembar lambang penjajah Belanda), yang pada waktu itu hanya punya sisa waktu
luang dua hari dalam seminggu.
Dalam perkembangan bentuknya Sisingaan, dari bentuk Singa Kembar yang sederhana, semakin lama disempurnakan, baik bahan maupun rupanya, semakin gagah dan menarik. Demikian juga para pengusung Sisingaan, kostumnya semakin dibuat glamour dengan warna-warna kontras dan menyolok.. Demikian pula dengan penataan gerak tarinya dari hari ke hari semakin ditata dan disempurnakan. Juga musik pengiringnya, sudah ditambahkan dengan berbagai perkusi lain, seperti bedug, genjring dll. Begitu juga dengan lagu-lagunya, lagu-lagu dangdut popular sekarang menjadi dominan. Dalam beberapa festival Helaran Sisingaan selalu menjadi unggulan, masyarakat semakin menyukainya, karena itu perkembangannya sangat pesat.
Dewasa ini, di Subang saja diperkirakan ada 200 grup Sisingaan yang tersebar di setiap desa, oleh karena itu Festival Sisingaan Kabupaten Subang yang diselenggarakan setiap tahunnya, merupakan jawaban konkrit dari antusiasme masyarakat Subang. Karena bagi pemenang, diberi peluang mengisi acara di tingkat regional, nasional, bahkan internasional. Penyebaran Sisingaan sangat cepat, dibeberapa daerah di luar Subang, seperti Sumedang, Kabupaten Bandung, Purwakarta, dll, Sisingaan menjadi salah satu jenis pertunjukan rakyat yang disukai, terutama dalam acara-acara khitanan dan perkawinan. Sebagai seni helaran yang unggul, Sisingaan dikemas sedemikian rupa dengan penambahan pelbagai atraksi, misalnya yang paling menonjol adalah Jajangkungan dengan tampilan manusia-manusia yang tinggi menjangkau langit, sekitar 3-4 meter, serta ditambahkan dengan bunyibunyian petasan yang dipasang dalam bentuk sebuah senapan.
Desa Curugagung merupakan salah satu desa yang memiliki kesenian khas Kabupaten Subang yaitu sisingaan. Kesenian sisingaan ini sudah ada sejak tahun 1995 yang di prakarsai oleh kepala desa Curugagung bapak Iwan Hermawan, bapak Iwan merupakan salah satu ketua yang mengelola kesenian sisingaan di Desa Curugagung. Biasanya sisingaan di pakai pada acara hajatan, khitanan, panen raya, dll. Di Desa Curugagung sendiri memiliki 10 singa yang biasanya dipakai. Sudah banyak tawaran atau undangan dimana-mana. Kesenian khas sisingaan menjadikan lahan pekerjaan untuk para masyarakat Curugagung untuk memiliki pekerjaan sampingan untuk mendapatkan dana tambahan dalam memenuhi kebutuhan sehari – hari. Kebudayaan yang sudah ada dan berkembang harus tetap dilestarikan agar kesenian yang ada di Desa Curugagung tidak punah oleh termakan zaman.
Musik pengiring Sisingaan pada awalnya cukup sederhana, antara lain: Kendang Indung (2 buah), Kulanter, Bonang (ketuk), Tarompet, Goong, Kempul, Kecrek. Karena Helaran, memainkannya sambil berdiri, digotong dan diikatkan ke tubuh. Dalam perkembangannya sekarang memakai juru kawih dengan lagu-lagu (baik vokal maupun intrumental), antara lain: Lagu Keringan, Lagu Kidung, Lagu Titipatipa, Lagu Gondang,Lagu Kasreng, Lagu Selingan (Siyur, Tepang Sono, Awet rajet, Serat Salira, Madu dan Racun, Pria Idaman, Goyang Dombret, Warudoyong dll), Lagu Gurudugan, Lagu Mapay Roko atau Mars-an (sebagai lagu penutup). Lagu lagu dalam Sisingaan tersebut diambil dari lagu-lagu kesenian Ketuk Tilu, Doger dan Kliningan.
Ada
beberapa makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Sisingaan, diantaranya:
- Makna sosial, masyarakat Subang
percaya bahwa jiwa kesenian rakyat sangat berperan dalam diri mereka,
seperti egalitarian, spontanitas, dan rasa memiliki dari setiap jenis seni
rakyat yang muncul.
- Makna teatrikal, dilihat dari
penampilannya Sisingaan dewasa ini tak diragukan lagi sangat teatrikal,
apalagi setelah ditmabhakn berbagai variasi, seperti jajangkungan dan
lain-lain.
- Makna komersial, karena Sisingaan
mampu meningkatkan kesejahteraan mereka, maka antusiasme munculnya
sejumlah puluhan bahkan ratusan kelompok Sisingaan dari berbagai desa
untuk ikut festival, menunjukan peluang ini, karena si pemenang akan
mendapatkan peluang bisnis yang menggiurkan, sama halnya seperti seni
bajidoran.
- Makna universal, dalam setiap etnik
dan bangsa seringkali dipunyai pemujaan terhadap binatang Singa (terutama
Eropa dan Afrika), meskipun di Jawa Barat tidak terdapat habitat binatang
Singa, namun dengan konsep kerkayatan, dapat saja Singa muncul bukan
dihabitatnya, dan diterima sebagai miliknya, terbukti pada Sisingaan.
- Makna Spiritual, dipercaya oleh
masyarakat lingkungannya untuk keselamatan/ (salametan) atau syukuran.